“saya beri waktu dua minggu untuk kalian membuat
feature”. Begitu
kata pak reza mengakhiri perkuliahan waktu itu. Semula mahasiswa komunikasi
menganggap itu adalah tugas yang mudah. Namun, setelah beberapa hari kata “feature” menjadi momok yang sangat menakutkan
bagi anak komunikasi semester satu. Hahaha…. Berlebihan kali yaa…
“bro, nga pe
feature sudah ? Tanya
saya.
“Jangan dulu baba inga itu uti.. somo strees kita” jawab teman saya.
Berbicara soal feature,
saya sendiri juga di buat bingung. Namun, saya tidak mau diam saja. Ketika itu,
saya mengingat-ingat apa yang disampaikan pak reza di kelas. Dan hasilnya, saya
teringat akan feature-nya pak bondan yang disuruh baca pak reza. Isinya tentang
kisah perjalanan pak bondan di bandung. Itu yang saya pahami. Maka saya pun
menulis tentang kisah saya di saat pergi ke air terjun di lombongo. Kisah
perjalanannya cukup menarik, namun itu bukanlah feature.
Dua minggu kemudian,
pak reza memberi komentar untuk feature yang kami buat. Dan katanya, kami semua
gagal paham. Banyak tulisan kami yang menarik katanya, namun belum mendekati
kategori feature. Pak reza kemudian memberi kami waktu seminggu lagi untuk
memperbaiki tulisan kami.
“ saya tidak menuntut kesempurnaan, minimal mendekati
feature-lah”. Kata
pak Reza.
Feature.. oooohhhh….
Feature…. Waktu seminggu lagi harus benar-benar dimanfaatkan. Namun waktu yang
diberikan rasanya tidak cukup.
Disela-sela kebingungan
itu, saya teringat akan sahabat kecil saya. Meski umurnya 2 tahun lebih tua
dari saya, namun kami bersahabat dengan baik. Sahabat saya ini sedikit berbeda
dengan orang lain. Bisa dibilang dia pemilih dalam bersahabat bukan karna ia
sombong namun ia tidak mau terjerumus dalam pergaulan yang dapat merusak ahlak
di masa remajanya. Febri namanya.
Hidup dalam keluarga
yang sederhana membuat Febri menjadi anak yang penuh tanggung jawab. Meskipun
ayahnya seorang pemabuk, tidak membuat Febri menjadi anak yang nakal. Namun dia
justru malah berbanding terbalik dengan ayahnya. Febri adalah anak yang taat
dalam beribadah. Dia tidak pernah meninggalkan sholat 5 waktu dan rajin ikut
pengajian. Jika anak-anak seumurannya suka menghabiskan waktu dengan bermain,
Febri lebih suka menghabiskan waktunya dengan membantu ibunya bekerja. Ibunya sangat sayang terhadap Febri. Setiap
selesai sholat magrib, biasanya febri akan tinggal dimasjid hingga waktu sholat
isya tiba. Jika ada orang yang membahas tentang agama, Febri sangat antusias
mendengarnya. Ia sangat santun dan sangat hormat terhadap orang tua.
Di sekolah, Febri
sangat disayang oleh guru-gurunya. Teman-temannya sering menjulukinya dengan
ustadz. Namun, hal itu tidak membuatnya sombong. Febri suka menasehati
teman-temannya. Jika ada teman yang salah, dia tidak akan segan-segan
menegurnya. Dari anak seumurannya, Febri mempunyai pemikiran sudah dewasa. Hal
ini membuat anak-anak cewek suka berteman dengannya.
Saat itu saya bersedih
karna harus berpisah sekolah dengannya. Febri harus melanjutkan sekolahnya di
tingkat SMP. Sementara saya saat itu baru duduk di kelas 5 SD. Setelah terpisah
sekolah dengan Febri, saya merasa sangat kehilangan. Meskipun kami tetap
bertemu saat sholat berjamaah di masjid, saya masih sulit menerimanya.
Seiring berjalannya
waktu, tanpa saya sadari kami sudah jarang bertemu. Setiap minggu kami hanya
bertemu sekali setiap sholat jum’at berjamaah di masjid. Entah dia yang terlalu
sibuk atau bagaimana, saya tidak tahu. Dia sudah jarang sholat 5 waktu di
masjid. Setelah saya tanya, dia hanya bilang kalau dia sering sholat dirumah.
Waktu seakan berlalu
begitu cepat. Saya sudah tidak ingat kapan terakhir kali saya bertemu dengan
Febri. Saat itu saya mendengar kabar yang sangat mengejutkan bagi saya. Febri telah
dipanggil oleh Allah swt. Saya tidak percaya namun begitulah kenyataannya.
Ironisnya lagi, dia meninggal dengan cara yang sangat tragis.
Saat kejadian itu saya tengah berkunjung ke rumah nenek
saya. Menurut cerita orang-orang saat itu, Febri meninggal setelah di seret
seekor sapi di jalanan. Entah bagaimana mulanya. Yang jelas kini Febri sudah
meninggal. Tubuhnya yang terluka membuat saya tidak sanggup melihatnya.
Febri sosok yang jadi
teladan bagi saya, kini telah pergi untuk selama-lamanya. Seorang anak remaja
yang bisa di bilang langka itu kini telah berpulang ke pangkuan sang ilahi
robbi. Tak banyak remaja di masa kini yang seperti Febri. Saat ini, remaja di Indonesia
lebih banyak waktunya untuk bermain ketimbang memikirkan soal ibadah. Lebih banyak
memegang gadget ketimbang Al- Qur’an. Lebih mengenal artis dibanding dengan
nabi. Akankah ada sosok seperti Febri itu kini ?