Selasa, 13 Desember 2016

Langkanya Remaja seperti Febri



“saya beri waktu dua minggu untuk kalian membuat feature”. Begitu kata pak reza mengakhiri perkuliahan waktu itu. Semula mahasiswa komunikasi menganggap itu adalah tugas yang mudah. Namun, setelah beberapa hari kata “feature” menjadi momok yang sangat menakutkan bagi anak komunikasi semester satu. Hahaha…. Berlebihan kali yaa…
“bro, nga pe  feature sudah ? Tanya saya.
“Jangan dulu baba inga itu uti.. somo strees kita” jawab teman saya.
Berbicara soal feature, saya sendiri juga di buat bingung. Namun, saya tidak mau diam saja. Ketika itu, saya mengingat-ingat apa yang disampaikan pak reza di kelas. Dan hasilnya, saya teringat akan feature-nya pak bondan yang disuruh baca pak reza. Isinya tentang kisah perjalanan pak bondan di bandung. Itu yang saya pahami. Maka saya pun menulis tentang kisah saya di saat pergi ke air terjun di lombongo. Kisah perjalanannya cukup menarik, namun itu bukanlah feature.
Dua minggu kemudian, pak reza memberi komentar untuk feature yang kami buat. Dan katanya, kami semua gagal paham. Banyak tulisan kami yang menarik katanya, namun belum mendekati kategori feature. Pak reza kemudian memberi kami waktu seminggu lagi untuk memperbaiki tulisan kami.
“ saya tidak menuntut kesempurnaan, minimal mendekati feature-lah”. Kata pak Reza.
Feature.. oooohhhh…. Feature…. Waktu seminggu lagi harus benar-benar dimanfaatkan. Namun waktu yang diberikan rasanya tidak cukup.
Disela-sela kebingungan itu, saya teringat akan sahabat kecil saya. Meski umurnya 2 tahun lebih tua dari saya, namun kami bersahabat dengan baik. Sahabat saya ini sedikit berbeda dengan orang lain. Bisa dibilang dia pemilih dalam bersahabat bukan karna ia sombong namun ia tidak mau terjerumus dalam pergaulan yang dapat merusak ahlak di masa remajanya. Febri namanya.
Hidup dalam keluarga yang sederhana membuat Febri menjadi anak yang penuh tanggung jawab. Meskipun ayahnya seorang pemabuk, tidak membuat Febri menjadi anak yang nakal. Namun dia justru malah berbanding terbalik dengan ayahnya. Febri adalah anak yang taat dalam beribadah. Dia tidak pernah meninggalkan sholat 5 waktu dan rajin ikut pengajian. Jika anak-anak seumurannya suka menghabiskan waktu dengan bermain, Febri lebih suka menghabiskan waktunya dengan membantu ibunya bekerja.  Ibunya sangat sayang terhadap Febri. Setiap selesai sholat magrib, biasanya febri akan tinggal dimasjid hingga waktu sholat isya tiba. Jika ada orang yang membahas tentang agama, Febri sangat antusias mendengarnya. Ia sangat santun dan sangat hormat terhadap orang tua.
Di sekolah, Febri sangat disayang oleh guru-gurunya. Teman-temannya sering menjulukinya dengan ustadz. Namun, hal itu tidak membuatnya sombong. Febri suka menasehati teman-temannya. Jika ada teman yang salah, dia tidak akan segan-segan menegurnya. Dari anak seumurannya, Febri mempunyai pemikiran sudah dewasa. Hal ini membuat anak-anak cewek suka berteman dengannya.
Saat itu saya bersedih karna harus berpisah sekolah dengannya. Febri harus melanjutkan sekolahnya di tingkat SMP. Sementara saya saat itu baru duduk di kelas 5 SD. Setelah terpisah sekolah dengan Febri, saya merasa sangat kehilangan. Meskipun kami tetap bertemu saat sholat berjamaah di masjid, saya masih sulit menerimanya.
Seiring berjalannya waktu, tanpa saya sadari kami sudah jarang bertemu. Setiap minggu kami hanya bertemu sekali setiap sholat jum’at berjamaah di masjid. Entah dia yang terlalu sibuk atau bagaimana, saya tidak tahu. Dia sudah jarang sholat 5 waktu di masjid. Setelah saya tanya, dia hanya bilang kalau dia sering sholat dirumah.
Waktu seakan berlalu begitu cepat. Saya sudah tidak ingat kapan terakhir kali saya bertemu dengan Febri. Saat itu saya mendengar kabar yang sangat mengejutkan bagi saya. Febri telah dipanggil oleh Allah swt. Saya tidak percaya namun begitulah kenyataannya. Ironisnya lagi, dia meninggal dengan cara yang sangat tragis.
Saat kejadian  itu saya tengah berkunjung ke rumah nenek saya. Menurut cerita orang-orang saat itu, Febri meninggal setelah di seret seekor sapi di jalanan. Entah bagaimana mulanya. Yang jelas kini Febri sudah meninggal. Tubuhnya yang terluka membuat saya tidak sanggup melihatnya.
Febri sosok yang jadi teladan bagi saya, kini telah pergi untuk selama-lamanya. Seorang anak remaja yang bisa di bilang langka itu kini telah berpulang ke pangkuan sang ilahi robbi. Tak banyak remaja di masa kini yang seperti Febri. Saat ini, remaja di Indonesia lebih banyak waktunya untuk bermain ketimbang memikirkan soal ibadah. Lebih banyak memegang gadget ketimbang Al- Qur’an. Lebih mengenal artis dibanding dengan nabi. Akankah ada sosok seperti Febri itu kini ?

Selasa, 29 November 2016

LOMBONGO WATERFALL

Cit cit cit.... bunyi kicauan burung itu terdengar.....
Seketika saya meraih hape untuk membaca sms yang masuk.
Assalamua’alaikum.. teman-teman hari ini kita free... see you tomorrow.. :-).”
Begitu isi pesan yang masuk. Dalam hati saya sih seneng dapat libur karena libur adalah hal yang menjadi idaman mahasiswa di fakultas mipa namun bagi saya dari fakultas ilmu sosial, libur adalah hal yang sudah biasa. Tapi saya bosan juga kalo dirumah terus. Karena tidak tau hendak berbuat apa, saya memutuskan untuk kembali ke kamar saya.  Karena tidak tau hendak berbuat apa, saya pun pergi tidur. Pukul 11.48 saya terbangun karena mendengar suara adzan.
Setelah mandi dan mengganti pakaian, saya bergegas pergi ke kampus. Barangkali saja ada teman-teman di kampus. Sesampainya di kampus ternyata tidak ada satupun teman-teman saya. Saya pun pergi ke kos-kosan teman saya, namun mereka juga tidak berada di sana. Saya cek di sosmed ternyata mereka sedang bersiap-siap pergi ke lombongo guna merayakan hari ulang tahun teman saya yang bernama Rivaldi. Saya segera menyusul mereka ke kos-kosan yang satunya lagi.
Dengan pakaian seadanya saya pun ikut dengan mereka. Tanpa baju renang, hanya celana jins dan kaos hitam serta jaket saya pun berangkat bersama mereka menuju ke pemandian lombongo yang terletak di Kecamatan Suwawa. Kami berangkat dengan mengendarai 5 sepeda motor. Di tengah perjalanan, saya melihat teman-teman saya kebingungan karena belum ada satu orang pun di antara kami yang pernah pergi ke tempat itu. Kami pun menggunakan kecanggihan teknologi masa kini untuk menemukan lokasi yang hendak kami tuju. Melalui aplikasi maps yang ada di smartphone kami melanjutkan perjalanan. Sekitar 30 menit kemudian kami tiba di tempat wisata pemandian lombongo.
Suasana sepi tanpa satu orang pun pengunjung terlihat. Seorang yang tengah mengepel lantai kolam pun akhirnya mendekati kami.  adooohhh... guys.. kayaknya kita dapat zonk nih..” gerutu Tito yang merupakan mahasiswa fakultas tehknik ini. “adik-adik ini mau kemana ?” tanya petugas yang tengah membersihkan kolam itu. “ jadi begini pak, tujuan kami kemari sebetulnya ingin berenang di kolam ini pak” jawab Dul (seorang calon guru agama islam dari IAIN) “ tapi kayaknya kami akan berenang di udara kali ini”. sambungnya. “ mohon maaf ya dik, kolamnya sedang kami bersihkan”. kata petugas itu. “ Jika adik-adik mau, di atas sana ada sebuah air terjun. Kalian bisa bermain air di sana”. Kata petugas memberi penawaran kepada kami. “ kira-kira tempatnya jauh gak pak ?”. tanya Jenly mahasiswa Fekon yang memiliki badan atletis berlebihan ini. “ tidak jauh kok dik, hanya sekitar satu jam perjalanan dari sini. Sekarang sudah jam tiga, jika kalian bergegas kesana sekarang kalian bisa bermain sekitar tiga puluh menit di sana. Jangan terlalu lama, takutnya kalian akan terjebak oleh hujan di hutan sana” jelas petugas itu.
Setelah berembuk sebentar kami pun memutuskan untuk menuju ke air terjun. Setelah membayar bea masuk dan parkir kami pun bergegas menuju ke dalam hutan. Semula kami berpikir perjalanan sekitar sejam itu sangat enteng. Tanpa air minum dan snack hanya berbekal semangat muda yang penuh enerjik kami berangkat. 15 menit berjalan kami masih segar belum ada tanda kecapean. Jalan yang menanjak, sungai yang mengalir deras harus kami lewati. Hingga kemudian jenly si gendut yang sangat imut itu meminta kami untuk beristirahat sejenak. Sekitar dua menit kami beristirahat, kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali.  Kali ini, saya dan teman-teman mulai menyadari bahwa perjalanan ini cukup sulit. Rasa haus kini mulai terasa.  Saat itu, saya berjalan paling belakang di antara teman-teman. Saya merasa sudah tidak mampu lagi berjalan. Namun, saya berusaha untuk tetap bersikap biasa saja. Saya tidak ingin merepotkan mereka.
Tanpa saya sadari saya sudah tertinggal jauh. Dengan sisa-sisa tenaga yang saya miliki, saya terus berjalan menyusul mereka. Samar-samar saya mulai melihat teman-teman. Semakin mendekat, nampak jelas bagi saya, ternyata jenly juga merasakan apa yang saya rasakan. Melihatnya, saya berpura-pura kuat. Jenly berjalan sambil berpegangan dengan Dul. Jenly mengatakan bahwa dia sudah tidak mampu lagi berjalan. Saya pun berteriak dengan menirukan suara burung perkutut, memberitahu teman-teman yang lain agar menunggu kami. Setelah berusaha sekuat tenaga, sampailah saya, jenly dan dul di sebuah gubuk di mana teman-teman menunggu kami.
Setelah beristirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini Jenly di bopong oleh Anto. Anto adalah mahasiswa IAIN, ia datang bersama dul. Sementara saya, Tito, jenly, Rival, Alfian dan acil adalah mahasiswa aktif dari UNG. Kami berteman semenjak SMA, sementara Rival dan Acil adalah teman satu kos Jenly dan Alfian. Namun, karena sering nongkrong di kos Jenly dan Alfian kami pun akhirnya berteman.
Karena sudah setengah perjalanan, kami tidak ingin semuanya sia-sia. Kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Karena tidak ingin merepotkan teman-teman, saya melanjutkan perjalanan dengan cara saya sendiri. Saya melepas sepatu yang saya kenakan dan meninggalkannya di gubuk. Merasa kurang nyaman dengan celana jins ketat yang saya kenakan, saya pun melepasnya. Karena kelakuan saya itu, teman-teman memanggil saya dengan sebutan polahi. (Polahi adalah suku pedalaman yang ada di gorontalo, konon katanya suku ini masih sangat primitif). Saya mengikatkan celana saya di pinggang untuk memudahkan saya berjalan menyusuri lembah yang cukup terjal.




Di sela-sela perjalanan yang menantang ini, tiba-tiba jenly mengatakan bahwa ia benar-benar sudah tidak mampu lagi. Kami pun memutuskan untuk kembali beristirahat. Namun, rival dan acil tetap melanjutkan perjalanan. “ teman-teman ayo, air terjunnya sudah dekat”. Teriak rival dan acil secara bersamaan dari kejauhan. Mendengar itu, kami langsung bangkit dan  bergegas menuju ke arah rival dan acil. Dengan mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaga yang ada saya menyusul teman-teman. Begitu juga dengan jenly. 
Semakin mendekat, suara air yang jatuh dari ketinggian mulai terdengar.  Cuitan burung yang menyapa pun menambah semangat kami untuk segera sampai ke tempat tujuan.  Dan memang tak ada perjuangan yang sia-sia. Seperti kata bijak “life is struggle, no life without struggle”. Perjuangan kami berbuah manis. Rasa capek dan haus itu kini seakan tidak terasa lagi. Kini dihadapan saya dan teman-teman tersuguhkan karunia Allah. Suatu ciptaan yang tidak bisa ditiru oleh umat manusia. Air yang jatuh dari ketinggian kurang lebih sepuluh meter itu membuat mata kami terbelalak. Karena selama ini kami hanya melihat pemandangan seperti saat ini hanya melalui gambar.



Tanpa berpikir panjang lagi, saya langsung menceburkan diri saya ke dalam air dan untuk mengobati rasa haus, saya pun langsung meneguk air yang sangat jernih itu, dan memang rasanya segar sekali. Melihat apa yang saya lakukan, teman-teman saya hanya bengong. “ kalian haus kan ? ayoo minum, airnya segar sekali. Tak perlu ragu, kita berada di alam yang terawat”. Ajak saya kepada teman-teman. Mendengar ucapan saya yang begitu meyakinkan, teman-teman pun ikut meminum air sungai yang jatuh dari ketinggian sekitar sepuluh meter itu. Kami mengabadikan kebahagiaan kami dengan mengambil gambar melalui ponsel.  Gambar ini nantinya  akan kami pamerkan ke teman-teman di kampus dan sosial media. Bahwasanya di bumi gorontalo ini, ada surga kecil yang begitu indah.



 Sekitar 30 menit kami bermain air. Teringat pesan dari petugas kolam tadi, saya pun mengingatkan teman-teman untuk segera berkemas untuk pulang. Karena saat itu sudah menunjukan pukul 16.00, kami pun segera turun agar tidak kemalaman di perjalanan nanti...

            Sungguh perjalanan yang sangat luar biasa bagi saya. Pengalaman ini tidak akan pernah terlupakan. Bagi teman-teman yang suka tantangan, kalian harus mencoba untuk datang ke air terjun di taman bogani, lombongo ini...

Rabu, 02 November 2016

Ketidaknyaman Mengikuti Kuliah di Siang Hari



 
Ilustrasi kondisi mahasiswa dikelas


Siang hari tergolong waktu  yang kurang efektif dalam mengikuti proses perkuliahan. Keadaan kelas yang panas merupakan salah satu faktor pemicunya. Ruangan kelas yang panas membuat tubuh seseorang akan mengeluarkan keringat berlebih. Sementara keringat itu akan bercampur dengan bau badan dan akan menimbulkan bau yang tak sedap. Keadaan ini menyebabkan kebanyakan orang khususnya mahasiswa kehilangan konsentrasi dalam mengikuti kuliah, sehingga proses perkuliahan tidak berjalan dengan baik.
 Hal ini dirasakan sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo (UNG) yang mengikuti  kuliah di Ruangan Kuliah Gedung Bersama Fakultas Ilmu sosial (GB-FIS). Penyebab panasnya ruangan kuliah karena rusaknya fasilitas penyejuk ruangan seperti kipas angin di beberapa ruang kuliah. Kerusakan kipas angin itu sudah berlangsung cukup lama namun hingga sekarang belum terlihat langkah perbaikan dari pihak kampus atau pihak fakultas. Pihak fakultas belum memberikan keterangan jelas terkait perbaikan atau penggantian kipas angin yang rusak tersebut.

Kondisi kipas angin yang sudah rusak
Beberapa mahasiswa protes, fasilitas-fasilitas di ruangan rusak dan tidak ada perbaikannya kendati mereka membayar uang kuliah.  “Saya ini membayar uang kuliah mahal-mahal, tetapi saya tidak mendapatkan kenyamanan di dalam ruangan saat mengikuti kuliah,” ujar Zulkifli Bantali salah seorang mahasiswa yang mengikuti proses perkuliahan di salah satu ruang kuliah di Gedung Bersama Fakultas Ilmu sosial. “Seharusnya pihak fakultas segera menangani kerusakan ini, karena jika tidak, proses perkuliahan di dalam ruangan tidak akan berjalan efektif dan ini berdampak pada nilai mata kuliah,” tutur mahasiswa yang kerap disapa Kippil ini.
Adapun dosen yang berkomentar mengenai permasalahan ini. Sama halnya dengan mahasiswa, beberapa dosen juga tidak nyaman memberikan kuliah dengan keadaan ruangan seperti itu. Mereka menghimbau agar mahasiswa segera melaporkan hal ini agar proses perkuliahan bisa berjalan efektif. “Kalian harus tegas mengenai hal ini dan segera melaporkan kerusakan ini ke pihak fakultas,” ujar Dr. Sukarman Kamuli, M.Si selaku dosen pengajar mata kuliah filsafat di sela-sela proses perkuliahannya berlangsung.